Pena Djelajah

 Malam sendu tak berangin Selang waktu, purnama tak kunjung nampak Langit berawan menyelimuti bintang Sebuah prediksi esok turun hujan Sebutir merah dibawah awan Bertengger mantap di puncak menara Seulas harapan yang mulai membara Menyinari jiwa yang mulai lelah Tak aku sangka, Titik merah di pucak menara adalah simbol. Simbol sebuah harapan Dari liang hidup yan hampir putus asa

Di kota udang, mentari menyapa lembut Menguak pesona yang takkan terlupa  Bersamamu, ku langkah-kan kaki  Menelusuri lorong-lorong sejarah yang sakti Keraton Kasepuhan, saksi bisu cinta Menyimpan kisah kasih yang abadi  Di alun-alun, kita berpelukan mesra  Dibawah langit malam, bintang bersinar terang Gunung Ciremai menjulang tinggi  Menjadi latar sempurna bagi kisah kita  Di pantai, pasir lembut menyapa kaki  Gelombang berbisik, membawa cerita Cirebon, kota yang penuh pesona  Tak kalah indah dengan kota Jogja  Disana, ku temukan sebuah makna  Cinta sejati, abadi selamanya Bersama "Kirana", Gadis yang begitu istimewa dari Jogjakarta

Kala itu suasana terasa aneh, Mendung langit tak mengabulkan harapan agar segera turun hujan Tinggi gedung malah membuat tubuh begitu gerah Angin mendadak bersembunyi di balik awan dan tak mau menghembuskan keajaiban nya Langit senja tak menampakkan jingga ayu nya. Kala malam tiba, Aku duduk sendiri di balkon yang begitu sempit Dalam keheningan ku ditemani oleh sebatang rokok yang entah apa merek nya Meskipun sudah ku tau konsekuensi dari sebatang rokok itu, tetap ku isap dengan lantang dan penuh penghayatan Kopi yang awalnya panas kini telah menjadi dingin, rasa pahit nya pun seketika menjadi begitu aneh Ku pandangi segenap kota metropolitan ini dengan penuh perasaan takjub Ternyata kota yang begitu panas dan penuh debu pun begitu indah di malam hari Remang lampu jalan dan gedung menghiasi keindahan itu Setelah berselang beberapa saat, Akhirnya sampailah diri ini pada suatu kondisi yang disebut dengan kantuk Saat hendak ku pejamkan mata untuk berlabuh dalam dunia mimpi Aku menyadari m...

Nona : “Mengapa banyak orang menilai kita hanya dengan melihat, padahal mereka mencoba mengenal saja belum?” Mungkin jawaban kecilnya adalah karna mereka belum belajar menikmati kopi pahit Kata pahit tidak selamanya mengandung makna yang tidak mengenakan loh… analogikan saja lagi dengan kopi pahit. “Kopi pahit membuat kita dapat menikmati momen yang terjadi tanpa tergesah-gesah. Karna pahitnya kopi membuat lidah pekat yang akhirnya ada waktu jeda untuk meneguknya kembali. Begitu pula dengan hidup jangan tergesah-gesah dalam setiap momen yang dilakukan agar kita dapat mengenali lebih dalam siapa dan bagaimana sifat dari orang yang sedang bersama kita”. Nona : “Tapi kenyataan tidak bisa disamakan dengan segelas kopi pahit, kopi pahit masih banyak penikmatnya. Kalau kenyataan hidup pahit siapa yang ingin menikmatinya?”.   Banyak kok non…! Apakah kita tetap islam saat ini seandainya Rasulullah tidak menikmati dan bahkan menolak pahitnya berdakwah? Apakah kita tetap akan...

Cantik dan Anggun Nampak indah terlihat di pelupuk mata Merdu suara terdengar oleh telinga Halus nada kata terucap lisan Lembut tangan digenggam jemari Hangat tubuh dipeluk erat Manja sikap kala bertemu Tertusuk rindu kala berpisah.   Ohh…. Gadis kirana Bertahun sudah ku nantikan sosokmu Berkelana diri mencari dirimu Haru air mata saat akhirnya kau datang.

Pada jarak aku bertanya Mengapa begitu jauh? Pada waktu aku bertanya Mengapa begitu lama? Pada temu aku bertanya Mengapa harus ada pisah? ... Jarak hanya menjawab : Begitu jauh agar kau menabung Rindu Lalu dilanjut oleh waktu : Begitu lama agar kau menabung kisah yang akan kau ceritakan saat bertemu nanti Dan temu menjawab : Ada pisah agar kau sadar makna pertemuan itu.